Hidup adalah Ujian dan Perjuangan
Oleh Mahganipatra
Malam semakin larut, namun tanganku terus saja bergerak mengaduk-aduk abon ayam yang belum lagi kering. Dua minggu ini nyaris setiap malam aku sibuk di dapur membuat pesanan abon. Aktivitas baru yang terpaksa ku tekuni untuk menambal kebutuhan ekonomi keluarga selepas dua tahun suamiku kena PHK. Hingga terasa berat untuk mulai menulis chalengge true storyku tentang interaksiku dengan NarasiPost.Com. Tapi bismillah, di akhir-akhir waktu pengumpulan challengge ini, aku bisa menyempatkan diri untuk mulai merangkai kata tentang interaksiku dengan NarasiPost.Com
Satu tahun yang lalu, tepatnya bulan januari 2022, pertama kalinya aku memberanikan diri untuk mengirim tulisanku ke media ternama sekaligus terkeren NarasiPost.com disingkat NP.com. Menurutku media ini sangat keren, karena tulisan-tulisan yang tayang di media ini terus terang membuatku sangat terpesona. Setiap rubrik di dalam konten-konten tulisannya memiliki ciri khas tersendiri. Dan masing-masing rubrik memiliki ciri khas yang unik. Namun rata-rata, hasilnya selalu membuatku menahan diri untuk mengirimkan naskah tulisanku. Karena terus terang, aku masih belum percaya diri sepenuhnya untuk kirim naskah ke sana.
Sampai suatu hari aku mengikuti kelas menulis berbayar. Salah satu tugas akhir di sesi projek kelas adalah mengirimkan tulisan ke media online. Ini pertama kalinya aku punya keberanian untuk mengirimkan tulisan karyaku ke NP.com. Waktu itu aku ikut kelas berbayar tersebut dengan tujuan untuk mengupgrade kemampuanku dalam menulis literasi. Jadi ini juga sebagai test water keberhasilan dalam menimba ilmu di kelas tersebut.
Sebenarnya aku telah lama aktif menulis di sebuah grup menulis terkenal. Aku juga sering mengirim tulisan opini ke berbagai media online. Namun selalu rasanya tak memiliki keberanian untuk mengirim tulisan ke media NarasiPost.Com. Hal ini karena saat aku membaca, ku saksikan bahwa tulisan-tulisan dari teman-teman yang tayang di media NP.com terasa berbobot dan keren. Sehingga sering kali aku lebih banyak menahan diri untuk mengirimkan tulisan hasil karyaku ke media ini. Aku inseccure pada NP.com
Hingga akhirnya di bulan januari 2022, untuk pertama kalinya ku putuskan mengirimkan tulisan perdanaku. Waktu itu hampir seminggu lebih ku intip media NP.com. Setiap hari kukunjungi Web tersebut dan aku cek, apakah tulisanku sudah tayang atau belum. Karena saat itu aku mengirim tulisanku tersebut lewat email. Waktu itu aku hampir putus asa karena tulisanku tak kunjung diterbitkan. Sampai kemudian saat sesi evaluasi dan review tugas kelompok, dengan sedikit kecewa dan tak yakin, aku sampaikan bahwa tulisanku yang ku kirim ke NP.com belum tayang.
Tapi ternyata, alhamdulillah saat itu teman sekelompokku mengabari bahwa tulisanku ditayangkan di media NP.com. Alhamdulillah bisikku bahagia. Tak dapat kulukiskan kebahagiaan serta kebanggaanku saat mengetahui tulisanku telah ditayangkan oleh media NP.com. Setelah itu akhirnya walau tidak sering, aku semakin berani untuk kirim tulisan-tulisan opiniku ke @moms Andrea Aussie sebagai pemred NP.com. Bahkan kebahagiaanku semakin bertambah saat mbak @Dia Dwi Arista sebagai admin WAG konapost, mengundang ku untuk bergabung ke dalam komunitas penulis NP.com. Hingga melalui WAG grup ini aku makin memiliki banyak kesempatan untuk belajar di bidang literasi. Sebab WAG grup ini juga mempasilitasi para penulisnya dengan berbagai program kepenulisan yang dapat menambah khazanah keilmuan bagi para penulisnya.
Namun sampai saat ini, aku masih jarang mengirim tulisan karyaku ke NP.com. Banyak faktor mengapa aku jarang mengirimkan tulisan ke sana. Selain kesulitan menghasilkan karya yang ku anggap layak untuk tayang di NP.com karena kondisi kemampuanku literasiku, saat ini aku juga kesulitan mengatur waktu kesibukanku dalam menulis.
Mungkin bagi sebagian orang terdengar klise saat mendengar bahwa banyak ibu rumah tangga terpaksa berjuang menjadi pejuang recehan. Hingga tak mampu dengan mulus untuk mewujudkan cita-cita mereka menjadi para penulis handal. Padahal faktanya, hampir setiap hari mereka dipaksa harus berjibaku dengan aktivitas yang menguras tenaga dan pikiran. Hanya demi mendulang uang seribuan, setiap istri akhirnya harus rela bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup membantu para suami yang kehilangan matapencaharian mereka selepas di PHK.
Namun inilah fakta yang terjadi di masyarakat ekonomi kelas menengah kebawah. Padahal cita-cita menjadi penulis sudah kadung tersemat menjadi impian dan harapan.
Sebab sorang istri yang awalnya hanya menjadi ibu rumah tangga tanpa bekerja, selepas suami mereka di PHK, biasanya akan mengalami fase adaptasi yang berat dalam kehidupan ekonomi keluarga. Ketika suami mereka di PHK otomatis kehilangan sumber penghasilan. Itu berarti kehidupan ekonomi keluarga menjadi timpang. Antara melanjutkan cita-cita menjadi penulis, atau harus terjebak pada kondisi membantu ekonomi keluarga. Sebab bagaimana pun kebutuhan pokok keluarga yang bersifat primer harus tetap terpenuhi.
Seluruh kebutuhan makanan keluarga harus tetap tersedia dan terjamin kesehatan gizinya. Padahal biaya dan harga-harganya pun kian hari terus merangkak naik hingga nyaris tak terbeli. Demikian pula dengan biaya untuk kebutuhan pendidikan anak-anak dan biaya kesehatan tak kalah mahalnya. Hal ini menjadi problem yang kian pelik, menambah beratnya beban pikiran para suami maupun istri yang terdampak PHK.
Termasuk aku yang hari ini terpaksa menekuni profesi baru menjadi pedagang abon dadakan. Karena penghasilan suami yang terpaksa beralih dari pegawai tetap menjadi pekerja serabutan. Menjadikan penghasilannya kini, tak lagi sama. Bahkan nyaris tak mampu memenuhi seluruh kebutuhan keluarga. "Duh gusti, kuatkan hamba untuk menjalani kehidupan ini, hamba mohon tanamkan rasa ikhlas dan sabar agar terus mampu memiliki rasa qanaah dalam mendampingi suami hamba ya Allah," doaku di setiap kesempatan.
Sistem Kehidupan Kapitalisme Sekuler Sumber Malapetaka
Layaknya fitrah perempuan, tentu saja hatiku sedih dan kadang menangis diam-diam. Namun di hadapan suamiku, aku harus tetap berusaha untuk terus tegar, agar suamiku tidak bertambah pusing. Walau bagaimana pun, aku tahu bahwa hal ini bukan kehendaknya. Semua yang terjadi saat ini adalah qadha Allah Swt. Namun demikian, aku juga paham bahwa hal ini juga terjadi, karena akibat dari penerapan sistem kehidupan yang salah. Penerapan sistem kapitalisme-sekuler di tengah-tengah manusia saat ini, menjadi sumber segala malapetaka kehidupan manusia.
Sistem ini telah membuat para suami dan istri dipaksa melawan kodrat mereka. Banyak laki-laki yang terpaksa tinggal di rumah karena peluang untuk bekerja di perusahaan-perusahaan justru lebih banyak disediakan untuk perempuan dibandingkan untuk laki-laki. Sehingga pada akhirnya memaksa para istri yang bekerja. Sementara para suami, justru mereka yang harus rela tinggal di rumah mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka. Semua ini dilakukan, semata-mata agar biaya rumah tangga dapat tetap terkondisikan sesuai kebutuhan.
Inilah kezaliman sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini telah membunuh fitrah manusia. Para istri dan suami, dipaksa harus bertukar peran dan fungsinya di dalam keluarga. Kalaupun mereka tetap bertahan pada fungsi dan perannya dalam keluarga, kehidupan ekonomi yang harus mereka hadapi terasa makin sulit dan berat. Sebab penerapan sistem kapitalisme sekuler telah membentuk dan menciptakan pola kehidupan yang membuat kehidupan masyarakat menjadi miskin secara sistemik.
Tentu saja, jika ini dibiarkan, kerusakan sistem kehidupan ini akan menghancurkan tatanan sosial di masyarakat. Terutama tatanan sosial keluarga muslim. Bagaimana pun tak dapat dimungkiri bahwa kebutuhan ekonomi sangat memengaruhi kehidupan sosial keluarga. Peran ekonomi keluarga menjadi salah satu elemen penting terciptanya kesejahteraan keluarga.
Seorang Istri Harus Tetap Berjuang mewujudkan Cita-Cita
"Hidup adalah ujian dan perjuangan". Demikian quotes yang ku terima dari seorang musrifahku saat kami mutabaah. Kehidupan di dunia memang disetting untuk menghadapi rasa lelah dalam menjalani ujian. Karena istirahat yang sejati hanyalah di surga, di mana seluruh rasa lelah di dunia akan hilang berganti dengan kebahagiaan ketika bertemu dengan Allah Swt. Oleh karena itu kita harus senantiasa memupuk kesabaran, kita harus terus berjuang sekuat tenaga dalam mewujudkan cita-cita besar sebagai seorang muslimah. Menjadi ibu peradaban yang siap menjadi pejuang. Perjuangan sejati setiap muslimah adalah harus siap memberikan ruh kehidupannya untuk terus menempa diri menjadi manusia terbaik. Menjadi Istri bagi suaminya, ibu bagi anak-anaknya sekaligus bagi generasi muda saat ini. Itulah mengapa mereka ini harus terus bertahan menjadi tonggak peradaban. Cukuplah firman Allah Swt menjadi pelipur lara, bahwa Allah Swt firman dalam QS. At-Taghabun ayat 16 yang artinya;
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Wallahu a'lam bish-showab
Komentar
Posting Komentar