Isu KDRT Kembali Mencuat, Perempuan Harus Kuat atau Menggugat?
Oleh. Mahganipatra
(Aktivis Forum Muslimah Peduli Generasi)
Bagi sebagian besar perempuan, mahligai pernikahan ibarat dunia fantasi yang menjanjikan sejuta keindahan. Seluruh impian dan harapan tentang cinta dan kasih sayang dari pasangan telah memberikan kekuatan kepada perempuan untuk bertahan dalam kehidupan rumah tangga. Tak heran, ketika perempuan cemburu karena perselingkuhan, sering kali gelap mata dan sanggup menghancurkan mahligai pernikahan.
Menyoal Penyebab KDRT
Melansir mubadala.id, faktor intens penyebab KDRT di antaranya: Pertama, ketimpangan relasi yang disebabkan oleh anggapan bahwa laki-laki lebih memiliki kuasa terhadap istri karena peran suami sebagai qowwam (pemimpin) yang bertugas mencari nafkah. Karenanya ada yang menganggap fungsi pemimpin dapat berpindah ketika kewajiban nafkah menjadi kewajiban bersama. Artinya ketika istri bekerja, maka istri memiliki hak sebagai pemimpin dalam rumah tangga.
Padahal, ketika perempuan memikul beban tugas untuk mencari nafkah, justru kecenderungan tingkat stres mereka akan lebih tinggi. Karena, perempuan akan mengalami dwifungsi. Pada satu sisi, secara fitrah perannya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Di sisi lain, etos kerja akan membebani tugas perempuan.
Selain itu, di dalam kehidupan rumah tangga, hubungan antara pasutri merupakan hubungan yang dibangun berdasarkan hubungan yang bersifat sejajar (equal). Kesejajaran ini bukan berarti memosisikan suami dan istri harus diperlakukan sama. Bukan pula hubungan itu dibangun secara struktural layaknya bawahan dan atasan. Akan tetapi, hubungan sejajar adalah hubungan yang bersifat saling melengkapi antara kebahagiaan dan kedamaian dalam kehidupan rumah tangga.
Kedua, sikap ketergantungan istri kepada suami secara penuh dalam masalah ekonomi. Kondisi ini sering kali berdampak pada sikap suami yang arogan pada banyak kasus. Suami sering bertindak melampiaskan persoalan di tempat kerja kepada istri dan anak yang berada di rumah. Terkadang juga sebaliknya, suami enggan bekerja dan menelantarkan anak dan isterinya.
Menurut kaum feminis, para istri harus didorong untuk berdaya pada sisi ekonomi, sehingga sikap ketergantungan akan berubah perannya menjadi sikap resiprokal saat istri bekerja.
Akan tetapi pada faktanya, dorongan untuk pemberdayaan perempuan dari sisi ekonomi ala kapitalisme justru menjadi pemicu masalah. Karena dorongan perempuan agar bekerja sesungguhnya telah menjadi alat legitimasi sistem kapitalisme sekuler untuk menjadikan perempuan sebagai mesin produksi (buruh) di dalam industri mereka.
Berbagai program Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP), hanyalah kedok untuk menyesatkan perempuan muslim. Melalui program ini, perempuan telah dituntut untuk berkontribusi dan berdaya secara ekonomi. Namun, dirusak perannya sebagai ibu pengurus rumah tangga dan generasi.
Ketiga, sikap abai masyarakat terhadap perilaku KDRT. Hal ini muncul dari sikap individualis masyarakat. Hilangnya simpati dan empati masyarakat akibat rendahnya kesadaran amar makruf nahi mungkar. Telah melahirkan kasus KDRT yang berujung pada banyaknya korban. Karena, kasus KDRT tidak segera dilaporkan dan diambil tindakan kuratif maupun preventif.
Keempat, keyakinan yang berkembang di tengah masyarakat, termasuk tafsir agama. Bahwa perempuan harus bersabar atas persoalan keluarga, harus pandai menjaga rahasia keluarga. Serta keyakinan-keyakinan tentang segala persoalan yang ideal untuk menjadi istri shalihah, dan lain-lain. Kadangkala keyakinan ini menjadi salah satu sebab yang mendorong perempuan untuk memilih diam dan menerima, bahkan dalam bentuk KDRT.
Padahal tuntutan agar memiliki sikap sabar, menjaga rahasia pasangan merupakan perintah yang telah ditetapkan oleh Asy-Syari’ (Sang Pembuat Hukum), yaitu Allah SWT yang bersifat umum, yaitu berlaku bagi laki-laki dan perempuan. Adapun seruan bagi perempuan agar memiliki sifat shalihah, merupakan keutamaan bagi perempuan untuk mendapatkan balasan surga di sisi Allah SWT. Allah SWT berfirman,
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا
Artinya: “Laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang salih, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyūz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” ( Q.S An-Nisa: 34)
Kelima, kurangnya peran keluarga dalam memberikan pendidikan yang berkualitas sehingga melahirkan kontrol diri individu yang lemah di masyarakat, hingga menyebabkan kasus KDRT tiap tahun terus meningkat.
Oleh karena itu, kelima faktor penyebab KDRT ini akan senantiasa menjadi momok menakutkan sekaligus akan terus memangsa korban ketika sistem kapitalisme sekuler di pertahankan. Karena, sistem kehidupan kapitalistik sekuler telah mendorong individu rawan stres/depresi (mudah marah), masyarakat cuek (tidak peduli), sehingga ketakwaan individu dan kontrol masyarakat tidak mampu berperan. Di tambah lagi, produk hukum yang dihasilkan oleh negara berupa UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, telah terbukti mandul dalam mengatasi kasus KDRT.
Untuk mengatasinya, dibutuhkan solusi sempurna, yaitu solusi yang datang dari Allah SWT melalui suri tauladan kehidupan. Pernikahan Rasulullah SAW telah memberi teladan tentang kehidupan rumah tangga berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Dalam hal ini diperlukan ketaqwaan individu dan kontrol masyarakat serta negara yang menjalankan syariat Islam secara kafah. Negara itu adalah Khilafah Islamiah.
Komentar
Posting Komentar