Politik Praktis Demokrasi dan Suara Pesantren Jelang Kontestasi Politik 2024
Setiap kali menjelang tahun politik, pondok pesantren bersama para kiai selalu menjadi magnet tersendiri bagi para calon kontestan politik. Hal ini bukan fenomena baru, karena sejak dahulu, di masa awal berdirinya pondok pesantren hingga masa kini. Pondok pesantren telah menjelma menjadi mercusuar peradaban yang berperan sangat besar serta strategis dalam perubahan sosial masyarakat di Indonesia.
Pondok pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai tempat berlangsungnya interaksi siswa dengan guru, santri dengan kiai dalam rangka mentransfer ilmu-ilmu keislaman serta pengalaman kehidupan secara intensitas yang relatif. Akan tetapi pondok pesantren juga secara tidak langsung telah menjadi media penyebaran Islam serta pembentukan kepemimpinan informal bagi para kiai di tengah-tengah masyarakat.
Di mana munculnya budaya ketundukan dan ketaatan santri dan masyarakat terhadap pesantren dan para kiai telah berlangsung lama dan merupakan hal yang tak bisa dimungkiri. Karena peran para kiai yang dianggap memiliki keutamaan dari segi keilmuan, telah berproses menjadi sumber referensi bagi umat. Tempat masyarakat meminta nasihat dan fatwa di dalam menyelesaikan segala urusannya. Baik dalam masalah agama maupun masalah-masalah sosial di masyarakat.
Maka tidaklah mengherankan, jika pondok pesantren menjadi magnet yang mampu menarik para kontestan politik. Dalam rangka berupaya meraih dukungan serta mendulang suara masyarakat pada pertempuran pemilu politisi sekuler.
Fragmentasi dan Polarisasi Demokrasi terhadap Pondok Pesantren
Keterlibatan pondok pesantren dalam dunia politik bukan hal yang baru. Namun, sudah mengakar kuat sejak awal masa pendirian pondok pesantren. Sejarah juga telah mencatat bagaimana peran pesantren serta keterlibatan santri dan para kiai di era penjajahan Belanda. Pesantren menjadi salah satu lembaga yang sangat ditakuti kala itu, karena pesantren mampu menancapkan taringnya dalam upaya mengusir dan memerangi penjajahan. Demikian pula pada masa kemerdekaan NKRI, seruan Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, telah mampu menggerakkan semangat juang masyarakat dalam merebut kemerdekaan yang lahir dari pondok pesantren.
Bahkan, hal ini diakui dan di sampaikan langsung oleh ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani yang juga termasuk salah satu calon kontestan politik 2024. Pada saat kunjungan kerjanya ke Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits di Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat. Dilansir dari dpr.go.id, 21/9/2022.
Demikian pula di era reformasi, partai-partai politik Islam yang melibatkan peran figur pesantren juga semakin banyak bermunculan. Hal inilah, yang menjadikan posisi pesantren memiliki nilai tawar yang sangat diperhitungkan oleh para kontestan yang akan maju dalam kancah politik demokrasi di Indonesia. Sehingga setiap kali jelang kontestasi politik, posisi pesantren selalu berada dalam pusaran arus tarik menarik kepentingan politik. Pesantren dan para kiai yang memimpin pondok pesantren menjadi target empuk untuk dijadikan vote getter. Bukan saja oleh partai-partai berbasis Islam, akan tetapi juga oleh partai-partai politik nasionalis.
Pada umumnya, setiap kontestan yang datang ke pondok pesantren, mereka hadir dalam kemasan kunjungan kerja dan silaturahmi kepada para kiai. Kemudian dalam pertemuan tersebut mereka meminta dukungan terhadap pencalonan dirinya. Bahkan, tak jarang mereka memberikan harapan dengan janji dalam bentuk bantuan materi serta janji perbaikan bagi dunia pendidikan pesantren sebagai imbalannya.
Namun realitasnya jauh panggang dari api. Perbaikan dunia pendidikan bagi pondok pesantren hanya isapan jempol. Sebab, saat mereka berkuasa justru akan melahirkan kebijakan dan undang-undang yang semisal dengan UU pesantren beserta turunannya. Melalui undang-undang ini sistem kapitalisme semakin kuat dan kokoh mencengkeram generasi bangsa.
Salah satu turunan dari UU pesantren adalah program pemberdayaan dan kemandirian ekonomi pondok pesantren. Program ini juga sebagai bagian dari proyek moderasi beragama yang menjadi ruh utama dari arus demokratisasi. Akibatnya, peran pondok pesantren semakin terbelenggu oleh arus liberalisasi. Hingga tanpa sadar, telah terjebak dalam bahaya. Fragmentasi dan polarisasi politik demokrasi yang berpotensi melahirkan perpecahan umat akibat perbedaan afiliasi dukungan politik mereka.
Karena keterlibatan para tokoh agama dan figur pondok pesantren dalam pergulatan politik sekuler hanya sekadar dukungan suara. Mereka tidak memiliki kesadaran secara politik terhadap peran strategisnya. Dan cenderung hanya mengedepankan hawa nafsu demi kepentingan pribadi untuk memperoleh materi dan jabatan. Sehingga, dukungan sejenis ini termasuk ke dalam kategori aktivitas bekerja sama dan tolong menolong yang bersyarat. Di dalam aktivitas tersebut tampak bahwa mereka telah bekerja sama untuk tujuan mengangkat penguasa yang akan menegakkan sistem demokrasi dan hukum jahiliah.
Hal ini sangat jelas, bahwa akad kerja sama mereka adalah akad yang batil dan hukumnya haram. Karena telah bersepakat untuk melakukan tolong menolong dalam berbuat kemungkaran yang dilarang dalam Islam. Allah Swt. firman;
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. [QS. Al-Mâidah: 2]
Jika merujuk pada kondisi ini, maka sudah dapat dipastikan bahwa pondok pesantren saat ini. Telah kehilangan peran serta kontribusinya sebagai salah satu komponen bangsa yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Unggul serta berpengetahuan luas, berpikiran maju yang dibingkai oleh kesadaran, keimanan dan ketakwaan sebagai motivasi utamanya dalam ekosistem kebangkitan umat Islam.
Peran Strategis Pondok Pesantren
Di era demokrasi, peran strategis pondok pesantren telah hancur, terpecah belah, dan bahkan tak berdaya tergerus oleh kepentingan politik praktis demokrasi yang pragmatis. Kemampuan pondok pesantren dalam percaturan politik hanya terbatas pada memberikan dukungan suara dalam proses pemilu. Sehingga, aktivitas politik ini telah memalingkan kesadaran pondok pesantren terhadap bahaya politik praktis semacam ini. Yakni menjadikan suara mereka digunakan untuk merancang undang-undang yang akan melahirkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Serta terbentuknya legislasi undang-undang yang akan menghancurkan umat Islam yang teguh dalam memperjuangkan tegaknya akidah dan syariat Islam.
Oleh karena itu, agar peran strategis pondok pesantren kembali pada fungsinya. Dibutuhkan upaya yang serius untuk membangun kesadaran politik pondok pesantren terhadap bahaya penerapan sistem demokrasi yang akan mengangkat para penguasa beserta perangkatnya untuk menegakkan sistem hukum jahiliah. Terutama yang berkaitan dengan program moderasi beragama. Pondok pesantren harus dikembalikan pada fungsi dan tugas utamanya yaitu lembaga yang memiliki peran mencetak ulama faqih fiddin yang terdepan dalam mendakwahkan Islam kafah dan amar makruf nahi mungkar.
Komentar
Posting Komentar