Kontestasi Politik 2024: Hipokrit Sistem Sekuler dalam Politik Identitas


 



Oleh Mahganipatra
Aktivis Forum Muslimah Peduli Generasi

Kontestasi pemilu tahun 2024 diperkirakan akan semakin ketat.
Terutama menjelang pemilu tahun 2024. Persaingan parpol tampak semakin kental. Hal ini karena jumlah partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bertambah menjadi 17 partai politik nasional dan enam partai politik lokal Aceh.

Ketatnya persaingan ini tampak dari suasana perebutan suara pemilih. Seluruh parpol yang ikut bersaing tampak memiliki kecenderungan yang sama. Baik dari ceruk pemilih maupun ideologi parpol yang bersaing,  semua hampir sama dan saling beririsan. Sehingga mendorong beberapa parpol tidak segan-segan menggunakan isu primodialisme dan politisasi agama demi mendapatkan dukungan dan simpati dari masyarakat.

Bahkan tak jarang kecurigaan juga dibentuk, dengan tuduhan basis dukungan suara pemilih berdasarkan politik identitas yang sangat berbahaya dan akan memecah belah umat. 

Sistem Sekuler Melarang Politik Identitas

Secara konsep, sebenarnya jika kita merujuk pada beberapa kajian literatur politik. Ada beberapa pendapat mengenai politik identitas. Ada anggapan bahwa politik identitas bersifat netral bahkan cenderung positif. Sebab secara subtansinya politik identitas merupakan bentuk perlawanan terhadap berbagai penindasan dan ketidakadilan dalam suatu tatanan struktur politik tertentu.

Pendapat ini muncul karena secara definisi politik identitas adalah sebuah mekanisme pengorganisasian politik berdasarkan identitas. Baik berupa identitas sosial maupun identitas politik sebagai sumberdaya dan sarana politik.

Akan tetapi kehadiran politik identitas kemudian dianggap sangat berbahaya, karena dipengaruhi oleh berbagai kepentingan dan kekhawatiran. Contohnya khawatir dijadikan alat politik oleh suatu kelompok berdasarkan etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya. Sebab dalam praktik sistem sekuler, seringkali terjadi politisasi identitas demi tujuan tertentu. Terutama menjelang kontestasi politik.

Biasanya para kontestan politik menggunakan identitas, hanya sebatas pencitraan dengan tujuan untuk memanipulasi dukungan calon pemilih. Dan selanjutnya digunakan sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tertentu. Yang diakibatkan sering terjadinya aktivitas ketidakadilan serta diskriminasi terhadap kelompok tertentu.

Di beberapa kasus, saat kampanye menjelang pemilu, para kontestan politik juga sering menggunakan simbol-simbol agama sebagai identitas, dan alat untuk menarik perhatian dan dukungan massa.

Namun di lain pihak, simbol ini juga diberi "stempel dan label negatif". Karena kekhawatiran akan kalah suara. Sekaligus juga muncul anggapan sebagai lawan politik yang patut diwaspadai. Karena dicurigai akan membahayakan eksistensi sistem sekularisme dan memiliki kekuatan berdasarkan basis dukungan massa dan ideologi yang dimilikinya .

Sehingga, munculnya politik identitas di dalam sistem kapitalisme-sekuler dianggap sebagai bentuk interpretasi secara ekstrim dan sangat berbahaya. Karena menggunakan identitas untuk tujuan mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Walhasil fenomena politik identitas disistem sekuler dilarang dan patut diwaspadai. Dengan tuduhan politik identitas digunakan sebagai alat politisasi yang berpotensi untuk memecah belah umat. Hal ini terlihat jelas pada peristiwa pengibaran bendera salah satu parpol di dalam sebuah masjid di Cirebon. Peristiwa ini menuai banyak kritikan dari masyarakat dan pejabat pemerintahan.

Menurut Wakil Presiden Ma'ruf Amin tindakan pengibaran bendera parpol di dalam masjid, merupakan sebuah pelanggaran aturan kampanye. Karena dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan antar jamaah masjid. Mengingat bahwa di dalam masjid terdapat multi jamaah yang memiliki kecenderungan preferensi politik tersendiri.

Selian itu beliau juga menghimbau kepada seluruh partai peserta kontestasi politik untuk tidak menggunakan tempat-tempat ibadah sebagai ajang kampanye politik. Karena pelaksanaan kampanye jelang pemilu dan pemilu itu sendiri telah diatur dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017.

Dalam undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di dalamnya tertuang penjelasan bahwa pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk berkampanye. Seluruh parpol dan partisipan partai hendaknya tunduk terhadap aturan tersebut. Dilansir dari [wartaekonomi.co.id](http://wartaekonomi.co.id), minggu, 8/1/2023.

Hal ini berkembang disebabkan karena di dalam sistem kapitalisme sekuler telah memisahkan peran antara agama dengan sistem aturan kehidupan di masyarakat. Agama hanya memiliki peran di dalam ranah privat atau individu saja. Sehingga masyarakat dilarang menjadikan agama untuk turut andil menyelesaikan persoalan kehidupan manusia. Termasuk didalamnya ada larangan untuk menggunakan tempat-tempat ibadah sebagai sarana dan prasarana dalam melakukan aktivitas politik. Misalnya masjid, yang dibatasi fungsinya hanya memiliki peran sebagai tempat untuk aktivitas ibadah saja. Dan tidak boleh turut serta untuk mengatur persoalan politik yang berkaitan dengan masalah kekuasaan.

Di sistem sekuler, aktivitas politik dibatasi berdasarkan tujuan saja. Dengan melakukan dan menggunakan berbagai sarana dan prasarana hanya terbatas untuk mendapatkan kekuasaan. Kemudian berusaha dengan berbagai cara untuk menjaga kekuasaan dan mempertahankan kekuasaannya. Bahkan kerap kali menggunakan isu politik identitas dengan standar ganda. Di satu sisi memanfaatkannya namun di sisi yang lain menggunakannya untuk menyerang lawan-lawannya.


Politik Identitas dalam Pandangan Islam

Hal ini tentu berbeda dalam sistem Islam. Sebab di dalam sistem Islam, tidak ada batasan atau pelarangan terhadap tempat tertentu untuk melaksanakan aktivitas politik, misal larangan untuk menggunakan masjid sebagai tempat berpolitik. Hal ini disebabkan terdapat perbedaan terhadap makna politik di dalam sistem Islam dan sistem sekuler.

Di dalam pandangan Islam makna politik adalah pengaturan seluruh urusan umat yang harus diatur oleh aturan-aturan Islam, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Aktivitas politik ini dilaksanakan oleh rakyat (umat) dan pemerintah (negara).

Rasulullah Saw bersabda; "Siapa saja yang bangun di pagi hari, sementara perhatiannya lebih banyak tertuju pada kepentingan dunia, maka ia tidak berurusan dengan Allah. Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum Muslim)." ( HR Al Hakim dan Al Khatib dari Hudzaifah r.a).

Oleh karena itu, dalam sistem Islam aktivitas politik merupakan bagian yang sangat penting dn tidak terpisahkan dari akidah Islam. Islam memiliki metode kehidupan yang unik, serta berbeda dengan agama dan ideologi lain. Akidah Islam bersifat spiritual dan siyasah (politik). Karena aktivitas politik merupakan bagian yang sangat penting dan termasuk ke dalam aktivitas yang diwajibkan yaitu dakwah amar ma'ruf dan nahi mungkar.

Itu artinya, Islam mengatur urusan politik sebagaimana Islam mengatur masalah yang berhubungan dengan akhirat. Seperti kewajiban ibadah (salat, puasa, zakat, haji, dll), surga-neraka, pahala-siksa. Selain itu masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan dunia yang berkaitan dengan masalah-masalah seperti; politik, ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, pemerintahan dan lain-lain juga diatur oleh Islam.

Maka berdasarkan keyakinan ini setiap muslim diwajibkan untuk menjalankan kedua asfek ini secara keseluruhan (kafah). Tidak boleh mengimani sebagian dan ingkar terhadap sebagian yang lainnya. Apalagi memisahkan keduanya. Tentunya hal ini bertentangan dengan apa-apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.

Rasulullah Saw telah mencotohkan aktivitas politik secara nyata dalam kehidupan sehari-hari beliau. Pada masa kepemimpinan beliau di negara Islam pertama di Madinah. Rasulullah bukan hanya berdakwah mengajak orang kafir untuk masuk Islam. Akan tetapi juga mengarahkan pada terwujudnya masyarakat Islam. Dengan menjadikan aktivitas politik sebagai aktivitas dakwah amar ma'ruf nahi mungkar, untuk menerapkan seluruh syariat-syariat Islam dalam seluruh asfek kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Sesuai dengan firman Allah Swt;

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan," (Q.S Al- Baqarah: 208)

Dalam konteks kehidupan Rasulullah Saw, Rosulullah Saw juga telah berhasil melakukan perubahan masyarakat dengan merubah sistem kehidupan. Dari sistem jahiliah menjadi sistem Islam. Dari masyarakat yang menerapkan aturan jahiliah yang dibuat oleh manusia. Menuju pada masyarakat Islam yang menerapkan seluruh syariat-syariat Islam secara kafah dalam sebuah institusi negara yaitu Khilafah Islamiah.

Khilafah Islamiah akan menerapkan seluruh aturan berupa syariat-syariat Islam yang lahir dan berasal dari zat pencipta alam semesta secara komprehensif atau menyeluruh di seluruh asfek kehidupan masyarakat.


Wallahu a'lam bish-showab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bagaimana Kedudukan Kaidah: Mâ Lâ Yudraku Kulluhu Lâ Yutraku Mâ Tayasara Minhu

Tentang Laut

MAU NIKAH TIDAK PUNYA UANG