Mengembalikan Muruah Pesantren dari Jebakan Kapitalisme
Oleh Mahganipatra
Setelah fenomena Citayam Fashion Week, kini muncul fenomena baru, yaitu fenomena Tupal Fashion Night yang digelar oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU), Jawa Timur. Fenomena Tupal Fashion Night Nahdlatul Ulama, merupakan salah satu rangkaian acara Kick Off Satu Abad NU di Monumen Tugu Pahlawan Surabaya, Kamis (28/07/2022).
Pada acara tersebut, berbagai busana hasil karya desainer NU ditampilkan. Di antaranya adalah hasil karya desain muda Ning Ficky Aisya dan Listya Ayu. Busana-busana tersebut bukan hanya diperagakan oleh para model ternama tetapi juga di peragakan oleh gawagis dan nawaning pondok pesantren ternama. Seperti Gus Ahmad dan Ning Sheila, Gus Amak dan istri, serta yang lainnya. (detikjatim.com, 29/07/2022)
Alangkah ironis. Fungsi utama pondok pesantren dan ormas besar Islam sebagai sebuah lembaga pendidikan dan dakwah yang semestinya berjuang untuk mencerdaskan umat, agar umat menjadi generasi yang tafaqquh fiddin (menguasai berbagai bidang ilmu dan tsaqafah Islam). Namun hanya demi alasan warga nahdliyin mampu mengikuti zaman, mampu berkaloborasi dan berinovasi dalam menggali potensi serta inspirasi di bidang fashion, kemudian rela ikut latah berlomba-lomba bak pragawati dan pragawan. Berlenggak-lenggok untuk memamerkan pakaian muslim trendi yang jauh dari syariat Islam.
Sungguh, jika fenomena ini dibiarkan, maka bukan hal yang mustahil di masa depan, ulama dan para santri akan membawa umat terjebak pada aktivitas duniawi serta praktik-praktik eksploitasi yang diluncurkan industri fashion ala kapitalis yang melenakan.
Mengapa Pesantren Terjebak Gaya Hidup Kapitalis?
Fenomena peragaan busana akhir-akhir ini, telah menjadi hal yang sangat digandrungi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini sebenarnya sesuatu yang wajar, sebab busana merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia. Busana adalah kebutuhan pokok yang berfungsi untuk melindungi tubuh, menutup aurat, sekaligus sebagai perhiasan dan identitas diri.
Namun, seiring dengan perubahan zaman karena diterapkan sistem kapitalisme oleh negara. Maka sistem ini telah mampu merombak sudut pandang masyarakat. Terjadi perubahan sosial di tengah masyarakat, dimana fashion tidak hanya dipandang sebatas pakaian yang memiliki fungsi pokok saja. Tetapi telah diarahkan pada kebutuhan lain, yakni pada industri fashion yang bertujuan untuk pertumbuhan ekonomi yang menjadi unsur penting dalam menopang tegaknya peradaban kapitalisme.
Maka, karena Indonesia merupakan salah satu negara satelit penyokong peradaban kapitalis. Tidaklah berlebihan jika saat ini, Indonesia juga turut serta berupaya untuk mengembangkan industri fashion. Karena dianggap sebagai potensi penggerak perekonomian yang ada pada diri umat. Hingga akhirnya fenomena fashion di berbagai wilayah di Indonesia tumbuh bak jamur di musim hujan.
maka jika hal ini terus dibiarkan, sesungguhnya fungsi pesantren telah direduksi secara sistemik oleh negara. Yang akan berpengaruh terhadap kehancuran generasi secara sistemik dan menciptakan kondisi dangkalnya pemikiran umat. Umat akan hidup hanya memikirkan pesona duniawi.
Oleh karena itu, sudah semestinya bahwa pondok pesantren dikembalikan kepada fungsi dan perannya sebagai lembaga pendidikan. Yang bertugas mencetak para ulama, yang siap menciptakan oksigen kebangkitan umat. Siap mendakwahkan sistem Islam secara kaffah untuk tegaknya syariat dan Khilafah. Hingga akhirnya muruah para ulama akan kembali sesuai fitrahnya, mencintai Islam dan berjuang untuk Islam.
Wallahu a’lam bishshawab.
Komentar
Posting Komentar